. MEMBUAT HATI TERIRIS..!! Kisah Para Pejuang Dalam Memerdekakan Indonesia dan Curhatan Kehidupan di Masa Tuanya Saat Ini | portalwarta7
loading...
loading...

MEMBUAT HATI TERIRIS..!! Kisah Para Pejuang Dalam Memerdekakan Indonesia dan Curhatan Kehidupan di Masa Tuanya Saat Ini

iklan tautan

Tahun 1946, ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Banjarsari, Solo, Hadi mulai turun ke medan juang.

Dia menjadi bagian dari perang kemerdekaan di Kota Solo atau lebih dikenal dengan Serangan Umum Surakarta atau Serangan Umum Empat Hari, 7-10 Agustus 1949.

"Senjatanya ya seadanya, bambu runcing, pecok, pedang, keris, tombak dan lain-lain. Semangat kita cuma satu, mengusir Belanda dari Solo," ujar Hadi saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Jumat (11/8).

Waktu itu Hadi bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Tahun 1950 bergabung menjadi tentara di Batalyon 609 Angkatan Darat dan ditugaskan di Banjarmasin hingga berpangkat Sersan Dua.

Pengalaman menjadi tentara yang sering berpindah tugas, membuat Tutiati istrinya mengeluh. Atas pertimbangan keluarga, Hadi pun akhirnya keluar dari tentara. Ia kemudian bertugas sebagai kepala penilik di Lapas Banjarmasin. Tahun 1960 diminta tugas ke Lapas Boyolali sebagai Kepala Bagian Reclasseering.

Hadi diinterogasi karena namanya masuk dalam daftar B, hingga dinyatakan telah terlibat gerakan terlarang itu. Ia kemudian dipenjara selama 15 tahun di Nusakambangan tanpa pengadilan.

Tahun 1980, Hadi keluar dari penjara saat pembebasan massal. Ia pun kembali ke keluarganya di Solo. Namun Hadi tidak memperoleh hak pensiun. Ia juga sulit memperoleh pekerjaan yang layak karena statusnya sebagai eks-tapol.

"Masa depan saya direnggut, saya dituduh PKI, atau eks-tahanan politik seumur hidup," keluhnya.

Untuk meyakinkan jika suaminya bukan PKI, Tutiati pun kemudian memperlihatkan lencana bintang sebagai bukti bahwa Hadi adalah veteran pejuang dan juga pernah berdinas di AD.

Bukannya dipercaya, bahkan seorang tentara justru menginjak-injak bintang ia dengan kakinya. Mereka tetap tidak percaya dan menuduh bahwa Hadi seorang komunis.

"Tidak mungkin komunis ikut berjuang," kata Hadi menirukan tentara tersebut.

Di awal era reformasi, Hadi pernah menuntut rehabilitasi dan kompensasi haknya yang terampas. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Tahun 2007, istri Hadi meninggal dunia. Dari 5 anaknya, hanya satu anak laki-laki bungsu yang menemani. Hadi tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 30 meter persegi.

Tempat tinggal yang sungguh tidak nyaman. Betapa tidak, di sisi kiri berbatasan dengan Sungai Laweyan Solo, merupakan tempat pembuangan sampah.

Sedangkan di sisi kanan adalah sebuah makam tanpa pagar. Lebih ironis, di tempat tersebut Hadi hanya menumpang. Tanah tersebut milik pemerintah.

Di tempat tersebut, Hadi dipercaya untuk mengelola sampah. Ada 20 anggota paguyuban gerobak sampah yang menjadi anak buahnya. Namun dia tak mendapatkan gaji apapun dari pemerintah.

"Paling kalau ada yang ngasih uang ya saya terima, biasanya dari pemulung, kalau ada kelebihan," katanya.

Selain dari pemulung, Hadi juga dipercaya warga untuk mengelola toilet. Dari kegiatan tersebut, ia memperoleh upah hanya Rp 60 ribu per bulan. Jumlah tersebut tentu tidaklah cukup untuk biaya hidup. Beruntung ia mempunyai anak bungsu yang bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.

Meski hidupnya tak berkecukupan, tak lantas membuat Hadi mengeluh atau meninggalkan pekerjaannya. Meski juga tak mendapatkan upah saat mengelola sampah sejak tahun 1986, namun semangat mengabdi, berjuang yang melekat, membuat Hadi tetap bertahan.

"Yang penting saya bisa mengabdi, yang penting saya berguna bagi orang banyak," tuturnya bangga.

Nasib pilu juga dialami Luh Candra Asih atau akrab disapa Ninik (nenek) Luh Ayu, warga Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Buleleng Bali. Semasa perjuangan melawan tentara Jepang, wanita yang kini berumur 94 tahun dulunya bertugas mengantarkan logistik untuk para pejuang yang bersembunyi di balik Bukit Buleleng.

Kala itu dia masih berumur belasan tahun. Luh Ayu yang saat itu wanita yang terlihat ABG banyak digoda para pejuang saat tiba membawa makanan.

"Ingat ninik waktu orang teriak-teriak merdeka sudah umur 20-an tahun. Ninik bawa beras ke posko terus bawa makanan ke pejuang yang perang," kenangnya dengan bahasa Bali.

Perjalanan menuju posko membawa beras sepikul adalah sebuah perjalanan yang berat. Dia harus berhati-hati tidak sampai tertangkap penjajah. Belum lagi para begal atau perampok di hutan.

Memang tidak mudah, bagi wanita ini saat masih menginjak usia mudanya, membawa makanan ataupun beras bagi para pejuang yang bersembunyi dari incaran para penjajah.

Suatu waktu, dia pernah ditangkap tentara Jepang dan dipaksa untuk memberi racun ke para pejuang. Namun demi kemerdekaan, ia rela makanan dirampas dan dibuang.

Namun sayang, perjuangan berat Luh Ayu ini tidak mendapatkan penghargaan apapun, seperti pejuang-pejuang lain yang mendapatkan penghargaan sebagai veteran.

Dari pihak Kelurahan, memang sempat nama Ninik Luh Ayu muncul untuk didaftarkan sebagai veteran. Namun hingga saat ini masih belum ada pendataan lagi. Sempat terbesit untuk menanyakan, tetapi enggan karena takut dianggap kekurangan dalam hal ekonomi.

"Ya sempat dulu sekitar tahun 1980-an itu, tapi memang tidak ada mengajukan lagi. Ya mudah-mudahan nantinya ada lagi dalam pendataan. Kalau tanya-tanya, sungkan," ungkap Mertini, anak kandung Luh Ayu.

Tidak beda jauh dengan nasib Luh Ayu, I Wayan Karma (75) warga Banjar Kawan di Kelurahan Kawan Bangli, juga belum berstatus veteran. Padahal saat berumur 13 tahun, dia sudah mengangkat senjata melawan penjajah. Bahkan pernah menjadi sukarelawan semasa operasi Ganyang Malaysia ditahun 1963.

"Waktu itu saya sudah taruna (remaja), dengar ada rekrutmen langsung daftar. Tidak asal terima, semua harus melewati tahapan tes, bukan modal nekat," kenangnya saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu (16/8).


Semua yang lolos tes diberangkatkan naik truk ke Denpasar dari Bangli. "Di Denpasar kita semua para sukarelawan dari berbagai daerah, ada juga yang dari Lombok dan NTT," cerita Karma.

Setelah itu, para sukarelawan menuju pelabuhan Gilimanuk hingga sampai Jawa Timur baru naik kereta api menuju Cijantung untuk mengikuti pendidikan kemiliteran.

"Dilatih kemiliteran selama 2 bulan. Setelah itu naik kapal laut ke pulau Bangka, saya sempat sampai kena malaria. Di pulau Bangka tinggal tunggu perintah siap berangkat perang," ujarnya.

Namun, Karma tidak jadi berperang karena saat itu seluruh pasukan ditarik setelah ada pernyataan damai. Diapun dikembalikan pulang ke kampung halamannya di Bangli.

Kariernya tidak berlanjut di militer. Karma menjadi tukang bangunan dan tukang panjat kelapa serta tebang pohon.

Kini seiring bertambahnya usia dan menderita penyakit diabetes, Karma mengaku tidak bisa lagi beraktivitas. Sejujurnya dia sangat ingin menanyakan soal status kemiliterannya dan pensiunan veteran.

Karena selama ini hingga di usianya saat ini, dia mengaku sama sekali tidak pernah mendapat uang pensiunan.

Kasi Vet Kanminvetcad IX/26 Bangli, I Ketut Mandi saat dikonfirmasi mengungkapkan ada beberapa jenis veteran, yakni pembela NKRI dan penugasan. Dia mengatakan, I Wayan Karma masuk golongan pembela, karena mereka menjadi sukarelawan setelah kemerdekaan.

"Untuk I wayan Karma sudah masuk dalam daftar nominasi calon veteran pembela RI, mudah-mudahan akhir tahun ini prosesnya sudah kelar," jelasnya.

Ketut Mandi menambahkan, regulasi pengurusan melalui proses penjenjangan yakni dari usulan di Kaminvetcad langsung dikirim ke Babin Minvet dan selanjutnya diproses di kementerian pertahanan.
sumber: http://www.wajibbaca.com/2017/08/curhatan-para-pejuang-indonesia-yang-di.html
iklan 336 x 280