iklan tautan
Fisiknya sudah renta. Namun semangat yang terpancar dari pria 93 tahun tersebut masih berapi-api. Gerak-geriknya masih lincah dibandingkan orang-orang seusianya. Jalannya masih tatag. Bicaranya pun masih ethes.
Apalagi ketika pejuang veteran bernama Idris ini diajak berbincang tentang pengalamannya melawan penjajah. Sesekali suaranya melantang. Dengan tangan yang bergerak-gerak. Menggambarkan betapa kalutnya suasana peperangan menjelang hingga usai proklamasi kemerdekaan.
“Saya dulu pengawalnya Bung Tomo dan Dr Mustopo,” terang Idris saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Kaliombo, Kota Kediri.
Idris sebenarnya pria kelahiran Ngawi. Namun ketika umur tiga tahun, dirinya hijrah bersama dengan mendiang kedua orang tuanya ke Surabaya. Hingga kemudian dia besar dan menuntut ilmu di Kota Pahlawan tersebut.
“Pengetahuan dasar dalam perang saya dapatkan ketika ikut organisasi militer yang diwajibkan Jepang yakni seinendan,” terang Idris kepada Jawa Pos Radar Kediri.
Sebenarnya Idris adalah siswa teknik mesin. Namun karena saat itu diwajibkan, anak kelima dari tujuh bersaudara tersebut bisa menggunakan senjata. Ketika kemudian Hiroshima dan Nagasaki dibom pasukan Sekutu, terjadi gejolak pula di tanah air.
“Saat itu, saya antarkan orang tua kembali ke Ngawi. Sedangkan saya dan kakak saya yang bernama Muhammad Yusuf kembali ke Surabaya untuk ikut berperang,” tambahnya.
Mengapa Idris tidak memilih kembali ke Ngawi seperti saudara-saudaranya yang lain? Idris merasa terinspirasi Bung Tomo. Sosok terpelajar seperti beliau saja tidak gentar untuk pegang senjata dan berada di garis depan. Makanya Idris yang sering bertemu beliau memutuskan untuk mengabdikan diri untuk tanah air.
“Saya malu dengan diri sendiri kalau sampai mundur. Makanya memutuskan untuk bertahan di sana,” beber pria yang rambutnya sudah memutih tersebut.
Singkat cerita ketika sudah mendapat instruksi dari Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan, Idris mengawal ketat Bung Tomo bersama dengan para pemuda lainnya. Dirinya juga ikut serta ketika pimpinannya tersebut menyobek bendera Belanda yang berwarna merah putih biru di atas Hotel Oranye.
“Setelah proklamasi tersebut bukan berarti kita sudah ayem. Pertempuran masih terus memanas di Surabaya bahkan sampai 1949,” urai pria yang kini memiliki enam anak tersebut.
Selama itu pula Idris hidup dalam ketidakpastian. Tidur beralas tanah dan berselimut langit sudah biasa dilaluinya. Makan pun seadanya. Kadang minta lurah setempat atau mencabut singkong, pisang, kelapa atau apapun yang ditemukannya di ladang.
“Bersyukur saya sampai saat ini tidak pernah sakit. Saat itu saya juga terus dilindungi Yang di Atas. Jadi tidak sampai kena tembakan ataupun sabetan senjata,” tandasnya.
Setelah sekitar sepuluh tahun mengabdi di dunia militer, Idris memutuskan mundur pada 1959. Idris memutuskan hijrah ke Kota Kediri sekitar 1960-an. Saat itu dirinya mendirikan sekolah teknik di sekitar Nabatiyasa, Kelurahan Balowerti, Kota Kediri. Namun kini sudah tidak berjalan.
Sedangkan istrinya yang asli Kediri yakni Sarbinem adalah seorang guru. Istrinyalah yang menjadi pendiri SDN Kaliombo yang hingga saat ini masih berjalan. Bahkan semakin berkembang. “Semoga anak-anak muda sekarang bisa jaga kerukunan dan selalu bersemangat memajukan negara,” pungkasnya.
sumber: http://www.jawapos.com/read/2017/08/19/151895/anti-nkri-guru-pembakar-merah-putih-dibui